A. Contoh Kasus Nyata Masalah
Demokrasi di Indonesia
Pilkada ini ditujukan untuk memilih Kepala daerah di 226 wilayah yang tersebar dalam 11 provinsi dan 215 di kabupaten dan kota. Rakyat memilih kepala daerah masing masing secara langsung dan sesuai hati nurani masing masing. Dengan begini diharapkan kepala daerah yang terpilih merupakan pilihan rakyat daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah masing masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat yaitu mengatur pelaksanaan pilkada ini agar dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan kertas suara, hingga pelaksanaan pilkada ini.
Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan pemakaian ijasah palsu oleh bakal calon. Hal ini sangat memprihatinkan sekali . Seandainya calon tersebut dapat lolos bagai mana nantinya daerah tersebut karena telah dipimpin oleh orang yang bermental korup. Karena mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar. Dan juga biaya untuk menjadi calon yang tidak sedikit, jika tidak iklas ingin memimpin maka tidakan yang pertama adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kemali atau “balik modal”. Ini sangat berbahaya sekali.
Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan mengerahkan massanya untuk mendatangi KPUD setempat. Kasus kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di pulau sumatra. Hal ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan Ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut.
Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul dari KPUD setempat. Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPUD terbukti melakukan korupsi dana Pemilu tersebut. Dana yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu ternyata dikorupsi. Tindakan ini sangat memprihatinkan. Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat. Dengan mudah mereka memanfaatkan jabatannya untuk kesenangan dirinya sendiri. Dan mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon juga kejadian seperti ini. Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta.
Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :
1. Money politik
Sepertinya money politik ini selalu
saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masalah
ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat
diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan penulis
yaitu desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut.
Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat
dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat
membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka
dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena
uang.
Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu.
2. Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya.
Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai pemerintah melakukan
intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat
menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.
3. Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi.
Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang berlaku dalam pemilu
tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk,
selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu
melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat
tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang
memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media
kampanye. Bakal calon menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal
jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
4. Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul
karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan
karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi.
Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi
panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat
merusak integritas daerah tersebut.
B. Prinsip Prinsip Demokrasi
Prinsip merupakan kaidah atau ketentuan dasar yang harus dipegang dan ditaati. Prinsip demokrasi adalah beberapa kaidah dasar yang harus ada dan ditaati oleh negara penganut pemerintahan demokratis. Adapun prinsip-prinsip demokrasi tersebut sebagai berikut:
1. Negara Berdasarkan Konstitusi
Pengertian negara demokratis adalah
negara yang pemerintah dan warganya menjadikan konstitusi sebagai dasar
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi dapat diartikan
sebagai undang-undang dasar atau seluruh peraturan hukum yang berlaku di sebuah
negara. Sebagai prinsip demokrasi, keberadaan konstitusi sangat penting sebab
dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Konstitusi berfungsi untuk membatasi
wewenang penguasa atau pemerintah serta menjamin hak rakyat. Dengan demikian,
penguasa atau pemerintah tidak akan bertindak sewenang-wenang kepada rakyatnya
dan rakyat tidak akan bertindak anarki dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajibannya.
2. Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak
dasar atau hak pokok yang dimiliki manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan
Yang Maha Esa. Hak asasi manusia mencakup hak untuk hidup, kebebasan memeluk
agama, kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, serta
hak-hak lain sesuai ketentuan undang-undang. Perlindungan terhadap HAM
merupakan salah satu prinsip negara demokrasi karena perlindungan terhadap HAM
pada hakikatnya merupakan bagian dari pembangunan negara yang demokratis.
3. Kebebasan Berserikat dan Mengeluarkan Pendapat
Salah satu prinsip demokrasi adalah
mengakui dan memberikan kebebasan setiap orang untuk berserikat atau membentuk
organisasi. Setiap orang boleh berkumpul dan membentuk identitas dengan
organisasi yang ia dirikan. Melalui organisasi tersebut setiap orang dapat
memperjuangkan hak sekaligus memenuhi kewajibannya. Sejarah demokrasi
memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk berpikir dan menggunakan hati
nurani serta menyampaikan pendapat dengan cara yang baik. Paham demokrasi tidak
membatasi seseorang untuk berpendapat, tetapi mengatur penyampaian pendapat
dengan cara bijak.
4. Pergantian Kekuasaan Secara Berkala
Gagasan tentang perlunya pembatasan
kekuasaan dalam prinsip demokrasi dicetuskan oleh Lord Acton (seorang ahli
sejarah Inggris). Lord Acton menyatakan bahwa pemerintahan yang diselenggarakan
manusia penuh dengan kelemahan. Pendapatnya yang cukup terkenal adalah
"ower tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely".
Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan,
tetapi manusia yang memiliki kekuasaan tidak terbatas pasti akan
menyalahgunakannya.
Pergantian kekuasaan secara berkala bertujuan untuk membatasi kekuasaan atau kewenangan penguasa. Pergantian kekuasaan secara berkala dapat meminimalisasi penyelewengan dalam pemerintahan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pergantian seorang kepala negara atau kepala daerah dapat dilakukan dengan mekanisme pemilihan umum yang jujur dan adil.
5. Adanya Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
Peradilan bebas adalah peradilan yang
berdiri sendiri dan bebas dari campur tangan pihak lain termasuk tangan
penguasa. Pengadilan bebas merupakan prinsip demokrasi yang mutlak diperlukan
agar aturan hukum dapat ditegakkan dengan baik. Para hakim memiliki kesempatan
dan kebebasan untuk menemukan kebenaran dan memberlakukan hukum tanpa pandang
bulu. Apabila peradilan tidak lagi bebas untuk menegakkan hukum dapat
dipastikan hukum tidak akan tegak akibat intervensi atau campur tangan pihak di
luar hukum oleh karena itu, peradilan yang bebas dari campur tangan pihak lain
menjadi salah satu prinsip demokrasi.
Peradilan tidak memihak artinya peradilan yang tidak condong kepada salah satu pihak yang bersengketa di muka persidangan. Posisi netral sangat dibutuhkan untuk melihat masalah secara jernih dan tepat Kejernihan pemahaman tersebut akan membantu hakim menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya Selanjutnya, hakim dapat mempertimbangkan keadaan yang ada dan menerapkan hukum dengan adil bagi pihak beperkara.
6. Penegakan Hukum dan Persamaan Kedudukan Setiap Warga Negara di Depan Hukum
Hukum merupakan instrumen untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, pelaksanaan kaidah hukum
tidak boleh berat sebelah atau pandang bulu. Setiap perbuatan melawan hukum
harus ditindak secara tegas. Persamaan kedudukan warga negara di depan hukum
akan memunculkan wibawa hukum. Saat hukum memiliki wibawa, hukum tersebut akan
ditaati oleh setiap warga negara.
7. Jaminan Kebebasan Pers
Kebebasan pers merupakan salah satu
pilar penting dalam prinsip prinsip demokrasi. Pers yang bebas dapat menjadi
media bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi serta memberikan kritikan dan
masukan kepada pemerintah dalam pembuatan kebijakan publik. Di sisi lain, pers
juga menjadi sarana sosialisasi program-program yang dibuat pemerintah. Melalui
pers diharapkan dapat terjalin komunikasi yang baik antara pemerintah
masyarakat.
C. PERAN POLITIK CIVIL SOCIETY DALAM
MEWUJUDKAN WACANA DEMOKRASI
Demokratisasi tidak dapat dipisahkan
dari pembentukan civil society, karena demokrasi adalah mekanisme dari civil
society. Eksistensi civil society dalam wacana demokrasi di Indonesia ketika
rezim Orde Baru berkuasa dapat dikatakan sangat terbelenggu. Setelah rezim Orde
Baru runtuh otomatis telah memutuskan belenggu yang selama ini mengungkungi
demokrasai serta menghalangi aspirasi dan partisipasi politik masyarakat selama
lebih dari tiga dekade.
Pada saat ini, bangsa Indonesia
memiliki kesempatan dan kemungkinan yang lebih besar untuk menyelenggarakan
reformasi politik menuju demokratisasi. Hal ini terlihat bahwa setelah
runtuhnya kekuasaan Orde Baru, maka telah memberi kesempatan untuk membentuk
partai baru dan dalam jangka waktu yang hanya kurang dari tiga bulan telah
terbentuk delapan puluh partai baru, dan banyak kekuatan sosio politik yang
menegaskan diri bahwa mendukung dan menghendaki sebuah era baru reformasi dalam
berbagai kehidupan.
Reformasi merupakan upaya untuk
mengganti tatanan sosial lama dengan tatatann sosial baru yang dijiwai oleh
semangat reformasi yang berkembang dalam masyarakat dan sesuai pula dengan
aspirasi rakyat. Semangat reformasi dilandasi oleh nilai-nilai transformasi
menuju ke arah demokrasi. Menurut Dewanta (1996:277), bahwa transformasi ke
arah demokrasi mengandung pengertian pergeseran dari suatu sistem nondemokratis
(apapun bentuknya) ke arah sistem yang demokratis. Transformasi ke arah
demokrasi selalu berkaitan dengan perubahan dari hubungan yang memiliki
karakter zero-sum, dalam pengertian bahwa negara sangat kuat dan masyarakat
sipil sangat lemah menjadi hubungan yang positive-sum. Untuk itu diperlukan
strategi dan taktik untuk meningkatkan kekuatan masyarakat sipil sehingga
memiliki bergaining position yang lebih kuat yang dapat memaksa negara
mempertimbangkannya dalam suatu proses politik.
Posisi masyarakat yang sangat kuat
ini, menurut Dewanta (1996:276), tidaklah berarti mengorbankan negara. Negara
yang kuat dalam arti mampu menjalankan fungsi-fungsinya secara efektif yang
ditandai oleh menguatnya peranan masyarakat tanpa diikuti menguatnya peran
negara yang menimbulkan suatu bentuk tatanan yang anarkhis, yang ditandai oleh
disorder bahkan disintegrasi. Sementara pada kutup ekstrem yang lain,
menguatnya negara tanpaa diimbangi oleh menguatnya peran masyarakat akan
memunculkan bentuk-bentuk hubungan seperti otoritarian, diktator, tirani dan
semacamnya.
Menguatnya posisi masyarakat disini
dapat juga diartikan bahwa masyarakat menjadi subyek, dan bukan obyek, dengan
ikut menentukan dalam setiap kegiatan yang menyangkut dirinya baik dalam bidang
politik, ekonomi maupun sosial.
HUBUNGAN ANTARA NEGARA DAN CIVIL SOCIETY
Menurut Kuntowijoyo (1996:29), setidak
ada empat pendapat mengenai hubungan antara negara dan civil society yaitu:
pertama, menurut Hegel negara adalah sebuah aktualitas yang lahir karena dalam
masyarakat selalu terjadi konflik, sehingga kemerdekaan sejati tidak pernah
akan timbul dalam masyarakat. Dalam negaralah kemerdekaan itu terwujud; kedua,
adalah kebalikan dari pertama. Marx berpendapat bahwa negara adalah alat
represi dari kelas penguasa. Satu-satunya harapan bagi kemanusian terletak pada
hapusnya negara. Dengan hapusnya negara tidak ada lagi alat represi, dan
masyarakat dapat hidup tanpa kelas penguasa; ketiga, seperti yang dikemukakan
Antonio Gramsci, yang membedakan antara negara dan masyarakat, antara political
society dan civil society, negara mewakili paksaan, dominasi dan koersi, maka
masyarakat mewakili budaya ideologi, dan konsensus; keempat, ada hubungan
fungsional antara masyarakat dan negara. Masyarakat terpecah antara kepentingan
yang berlawanan, antara sektor pribadi dan umum, antara individu dan
masyarakat, antara kenyataan dan kesadaran. Negara memberi pengawasan dan
peraturan. Secara konkrit negara bekerja melalui pemungutan pajak, pelaksanaan
hukum, peraturan, birokrasi, diplomasi, sistem keamanan dan perang. Semua itu
disatukan melalui hukum dan hak.
Di dalam masyarakat sipil, demokrasi
yang berkembang niscaya bercorak pluralistik, yang ditandai dengan banyaknya
pranata politik yang terbentuk atas prakarsa masyarakat sebagai penyalur
aspirasi mereka sendiri. Menurut Dahl (dalam Silaen, 2000:8), pada masyarakat
sipil society selain itu juga terdapat ciri-ciri lain yaitu: tingginya tingkat
partisipasi politik masyarakat; terbukanya ruang-ruang publik yang luas dan bebas;
terbentuknya masyarakat yang kritis (critical society).
Untuk membentuk masyarakat yang kritis
sebagai mana yang dikemukakan diatas, menurut Silaen (2000:8) adalah mustahil
dapat tercapai manakala tanpa melalui proses pencerahan yang mentransformasi budaya
masyarakat menjadi modernis, yang berciri rasional, universal, menekankan
achievement, dan imparsial. Di dalam masyarakat demikian, nilai-nilai yang
berkembang niscaya mencakup kebebasan , kesataraan, individualistik,
indenpendensi dan tolenrasi. Proses menuju kearah itu, menurut Lipset (dalam
Silaen, 2000:9) masyarakat dapat didukung pencapaiannya melalui pendidikan,
dengan instrumen-instrumen pendukung: urbanisasi (disebabkan industrialisasi);
literacy, pers dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam teori politik, demokrasi
sebagaimana yang dijelaskan di atas bukan hanya demokrasi electoral, yang hanya
berurusan dengan mekanisme pemilihan para elit politik belaka. Pula bukan hanya
demokrasi prosedural yang terkait dengan cara-cara pembuatan kebijakan dan pengambilan
keputusan politik, melainkan yang utama adalah demokrasi liberal yang memberi
peluang sebesar-besarnya kepada setiap warga untuk berpartisipasi secara
politik melalui pelbagai saluran yang tersedia.
EXISTENSI CIVIL SOCIETY ERA ORDE BARU
Lahirnya rejim Orde Baru merupakan
akibat dari kejatuhan rezim Orde Lama. Dilihat dari awal perkembangannya, rejim
Orde Baru muncul dengan apa yang disebut critical mass (massa kritis), yaitu
golongan terpelajar: intelektual, akademisi, pengacara, wartawan, tokoh-tokoh
agama, mahasiswa, pelajar, seniman. Di Barat menurut Kusumowidagdo (1986:160)
kelompok ini di golongkan dalam orang-orang yang liberal minded.
Lahirnya rejim Orde Baru selain telah
mengubah orientasi ekonomi politik kekuasaan, juga telah memunculkan Soeharto
sebagai pengganti sekaligus mengubah tatanan ekonomi politik Indonesia yang
dulunya sosialis ke dalam sistem kapitalisme internasional. Karena proses
pembangunan di zaman Orde Baru menempatkn modal sebagai sebuah logika sentral,
maka negara-negara kapitalis metropolis (internasional) diundang untuk
memperbaiki sistem ekonomi Indonesia. Merekapun meminta syarat, diantaranya
jaminan keamanan, bahwa modal bisa saja ditanamkan namun ada jaminan agar modal
itu menjadi aman, yakni sistem politik harus aman dan konflik-konflik sosial
ditekan seminim mungkin.
Dalam pada itu, agar keamanan tetap
terjamin Indonesia dibawah rezim Orde Baru telah didesain secara sistematis
untuk tidak memberi tempat penting bagi partisipasi politik massa, apalagi bagi
politik aliran. Rezim Orde Baru berusaha mempertahankan status quo dan memberi
jamiman keamanan, serta menerapkan sistem politik yang benar-benar menekan
partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dihilangkan, yang muncul adalah
floating state atau dalam kontek sosiologis disebut “negara otonomi”. Negara
membayangkan dirinya sebagai representasi paling sejati dari seluruh kehendak
individu, kelompok, atau golongan. Negara semacam ini relatif steril terhadap
dinamika dan kekuatan-kekuatan yang tumbuh ditengah masyarakat.
Dengan corak seperti itu rezim Orde
Baru kemudian mewariskan masyarakat yang memperlihatkan kejanggalan diberbagai
segi. Artinya ada lembaga-lembaga penunjang demokrasi seperti partai politik,
pers, lembaga swadaya masyarakat, tetapi semua itu tidak memiliki otonomi dan
sangat tergantung pada negara. Warisan tersebut ternyata menimbulkan komplikasi
serius, ketika bangsa ini hendak melangkah menuju demokrasi.
Salah satu diantara warisan itu adalah
hilangnya ketrampilan sosial yang diperlukan dalam suatu civil society akibat
dihancurkannya secara sistematis segala forum dan media yang dikuasai
masyarakat. Akibatnya masyarakat kehilangan kesanggupan menyelesaikan
persoalan-persoalan diantara mereka sendiri secara santun dan damai. Eksesnya
penyelesaian segala persoalan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat kita
lihat selalu menggunakan cara kekerasan (violence).
Terjadinya kekuasaan yang demikian
pada saat rezim orde baru berkuasa menurut para ahli ilmu sosial dikarenakan
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan strukturalis. Kelompok ilmuan yang
beraliran ini adalah O’Donnel sendiri, Immanuel Wellerstein, Arief Budiman,
Sritua Arief dan Adi Sasano. Sementara itu pada ilmuan sosial beraliran
kultural, lebih memposisikan kultur atau budaya sebagai sentral analisa.
Menurut mereka terdapat suatu sistem budaya yang doniman dalam suatu sistem
sosial masyarakat dan budaya ini mempengaruhi perilaku ekonomi politik elit
kekuasaan maupun masyarakat sipil kita, sistem pemerintahan yang berlangsung
dalam negara tadi berdasar pada pola dan tradisi kebudayaan yang dominan tadi.
Jika direduksi bahwa dalam negara Orde Baru sistem pemerintahannya cenderung
otoriter, budaya Jawa sebagai sistem sosial yang dominan dan memiliki pengaruh
kuat dalam elit kekuasaan memiliki nilai-nilai otoriter. Masyarakat sipil
memiliki kecendrungan untuk tidak tampil menjadi institusi pengimbang dalam
masyarakat, ini juga akibat dari terdapatnya kultur masyarakat yang nrimo,
tidak memiliki tradisi pemberontakan, beberapa ilmuan sosial penganut teori ini
antara lain Clifford Geertz, Koentjaraningrat, Budi Santoso, SJ. Ben Anderson.
Perseteruan para penganut teori diatas
telah lama berlangsung, dalam masyarakat intelektual tradisi ilmu-ilmu sosial
yang dipengaruhi oleh filsafat Weberian (budaya) sebagai alat analisa utama
begitu dominan, sementara mereka yang mendasari analisanya pada filsafat
Marxian (historis) masih begitu minim. Belakangan ini mencul beberapa aliran
yang menamakan dirinya sebagai mahzab Marxis Revisionis. Mereka tidak lagi
membuat pertentangan antara kultur dan struktur, karena bagi mereka kedua
pendekatan ini masing-masing memeliki relevansi di dalam menjelaskan realitas
masyarakat setempat. Ilmuan Marxian seperti Gramsci, Nicos Paulantzas, Perry
Anderson, melihat bahwa budaya juga merupakan sebuah identitas yang dipakai oleh
penguasa untuk memproduksi sistem kekuasaan yang hemegomik . Bagi Gramsci yang
dianggap sebagai intelektual besar yang beraliran Marxis revisionis, memahami
bahwa negara jangan hanya dilihat sebagai institusi yang mempertahankan
berlangsungnya formasi sosial yang otoriter, sebagaimana pendapat kaum Marxis
klasik, masyarakat sipil (civil society) menstinya juga dilihat sebagai faktor
kunci untuk memahami sistem otoritarian tadi. Ia terbentuk dari
hubungan-hubungan budaya dan idiologi yang kompleks kehidupan intelektual dan
spiritual, serta ekspresi politik dari hubungan-hubungan itu yang harus ditekan
daripada struktur. Lebih jauh ketika ia menganalisa mengapa masyarkat sipil di
Italia menjadi sangat tunduk kepada kekuasaan. Menurutnya, kekuasaan telah berhasil
menterjemahkan budaya masyarakat setempat sebagai perangkat kekuasaan untuk
melakukan pressur terhadap masyarakat sipil sendiri. Sementara Perry Anderson
pada saat menganalisa tulisan Gramsci memberi kesimpulan bahwa model hemegoni
Gramsci adalah kepemimpinan moral dan kebudayaan yang dilaksalanakan oleh
masyarakat politik (negara) kepada masyarakat sipil.
Studi politik dalam perspektif
demikian lebih banyak memakai pendekatan dalam analisa kelas dari kalangan
Marxis revisionis tadi, artinya fokus pendekatannya diarahkan pada state dalam
hubungannya dengan masyarakat. (state and society) pada periode inilah muncul
apa yang disebut dengan perspektif neo statist. Yaitu pendekatan yang
memusatkan analisanya pada negara (state centred). Dalam pendekatan ini paling
tidak terdapat tiga ciri utama (Subakti 1989:4). Pertama, negara dipahami
sebagai aktor yang memiliki peran dalam mempengaruhi dan mentukan perkembangan
masyarakat. Kedua penjelasannya berupa perspektif kelembagaan, ketiga negara
tidak lagi dikaji secara das solen (apa dan bagaimana negara dijalankan),
tetapi secara das sein (bagaimana negara dijalankan pada tataran empirisnya).
Pendekatan negara muncul setidaknya
dengan dua alasan. Yang pertama, timbul rasa ketidakpuasan dari kalangan ilmuan
sosial terhadap pendekatan yang selama ini digunakan yang lebih berfokus pada
analisa tradisional yang melihat negara dalam perspektif normatif ideal, kedua,
semua aktivitas kelas-kelas sosial dalam masyarakat telah masuk dalam
yurisdiksi dan wewenang negara, hal demikian dengan sendirinya terimplikasi ke
dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat sipil.
Menurut Hikam(1999:66), masyarakat
dunia ketiga, keterlibatan negara tidak hanya dalam bidang politik saja tetapi
telah merasuk ke dalam lapangan ekonomi, sosial maupun budaya. Nicos Poulantzas
(1987:60), sehingga posisi negara yang dulunya secara statis dan netral,
sekarang telah berkembang menjadi sebuah institusi yang memiliki kemandirian
relatif.
Orde Baru sebagai sebuah tatanan
politik dimana negara diletakan ke dalam sebuah bingkai yang relatif otonom,
institusi politik ini juga melakukan praktek kekuasaan yang represif dan
otoriter, kemudian negara menjadi sebuah institusi pelaksana tunggal dari
otoritarianisme tadi. Dengan demikian maka terdapat tiga ciri yang mendasari
negara Orde Baru, sebagai negara yang kuat, relatif otonom dan otoriter.
Sementara masyarakatnya cenderung bersifat pasif, apatis, lembaga-lembaga
politik masyarakat sebagian besar tidak menjalankan fungsinya sebagai alat bagi
pendidikan politik rakyat. Setiap kali ada gejala yang memperlihatkan sikap
akomodatif dari civil society terhadap negara maka ini dipahami sebagai
indikasi semakin menguatnya struktur politik yang dibangun oleh negara.
Sebagai kelanjutan dari sebuah rejim
Orde Lama, Orde Baru juga mewarisi sistem politik dengan menempuh jalan
mobilisasi negara. Artinya, semua perangkat ekonomi, sosial, budaya, politik di
upayakan untuk masuk dalam kerangka kooptasi negara. Negara menciptakan satu
bentuk institusi-institusi baru dan tunggal sebagai perwakilan dari organisasi
yang ada dalam masyarakat.
Untuk memperlemah sekaligus melakukan
kontrol terhadap berbagai institusi seperti misalnya aktivitas buruh, negara
membentuk dan hanya mengizinkan satu-satu organisasi yang bernama Serikat Buruh
Pekerja Indonesia (SPSI), tetapi organisasi sejenisnya, seperti Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia (SBSI) tidak diperbolehkan berdiri. Demikian pula dengan
organisasi Pers yang diizinkan hanya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),
sementara Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) bukan hanya tidak diberi izin,
tetapi para anggotanya justru mengalami kesulitan politik dan operasional
profesi.
Dalam institusi keagamaanpun negara
membentuk satu perangkat organisasi tunggal yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI)
oleh pemerintah dianggap sebagai representasi dari semua ulama yang ada di
Indonesia, sementara HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) sekalipun sampai saat
ini belum ada organisasi tandingannya, namun pemerintah melakukan intervensi
politik ketika terjadi rekruitmen kepemimpinan di dalam lembaga tersebut. HKBP
pimpinan Nababan tidak direstui oleh kekuasan. Begitu kuatnya intervensi negara
dalam tubuh institusi Kristen Protestan ini mengakibatkan HKBP mengalami
konflik internal berkepanjangan, dan ongkos yang dibayar dari konflik itu
sangatlah besar.
Demikian pula dengan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) pimpinan Megawati Soekarno Putri, direkayasa untuk tidak
kembali memimpin PDI. Soeryadi sendiri sebagai aktivis partai yang loyal kepada
pemerintah direstui. Hal yang menarik justru datang dari peristiwa Muktamar NU,
K.H. Abdurrahman Wahid yang meneguhkan diri sebagai simbol oposisi kekuasaan
mendapat rintangan yang begitu kuat untuk kembali memimpin, namun peristiwa
ini, negara tidak berhasil menggusur Gus Dur, ketidak berhasilan pemerintah
menggusur Gus Dur karena mengalir dukungan dari sipil society disamping itu
juga kepiawaian Gus Dur dalam menjalan politik praktis.
Kasus-kasus politik di atas memberi
gambaran betapa kekuasaan Orde Baru sama sekali tidak menginginkan munculnya
kekuatan alternatif dalam masyarakat, apalagi yang mengarah kepada oposisi
politik terhadap negara. Dan untuk mengimbangi kekuasaan politik dari
masyarakat negara melakukan intervensi kekerasan dengan menggunakan militer
dengan alasan menjaga agar stabilitas politik tetap berjalan untuk menjaga
kesinambungan pembangunan ekonomi, terutama investasi modal dari luar.
Kebijaksanaan politik demikian,
membuat civil society (masyarakat sipil) kehilangan kemandiriannya, partisipasi
politik hanya sebatas pengesahan dari kebijakan negara yang diturunkan
kemasyarakat agar terkesan ada proses partisipasi dari bawah, padahal secara
substansial negara justru melakukan tekanan politik kepada masyarakat untuk
mengiyakan segala bentuk kebijakan ekonomi politik negara. Hikam (1999:5),
menyatakan bahwa penetrasi negara yang kuat dan jauh terutama lewat jaringan
birokrasi dan aparat keamanan telah mengakibatkan semakin menyempitnya
rung-ruang bebas yang dulunya pernah ada.
Begitu kuatnya penetrasi kekuasaan
terhadap lembaga-lembaga masyarakat sipil sehingga Pierre James (dalam
Budiman1996:61) mengatakan bahwa,………the single most important actor in the
economic, society and polity……… Sementara Fattah (1994:85-86), menyatakan bahwa
memahami negara telah menjadi sebuah kekuatan politik dominan yang mempengaruhi
perkembangan masyarakat. Perubahan logika kekuasaan negara yang lebih cepat
dari perubahan politik masyarakat mengakibatkan masyarakat sipil mengalami
pertumbuhan yang tidak signifikan, hal tersebut sangat jauh berbeda dengan
sejarah masyarakat sipil yang ada di Barat, dimana yang terakhir peran aktif
masyarakatnya sangat menentukan pengambilan kebijakan politik maupun ekonomi
dalam kekuasan. Problem kultural dari masyarakat sipil kita berlanjut terus
seiring dengan realitas politik yang berkembang di Indonesia.
Masa pemerintahan orde baru bukan
berarti tidak muncul praktek oposisi terhadap negara. Organisasi-organisasi non
pemerintah. Tokoh agama, aktivis petani dan buruh, mereka mampu melakukan
konsolidasi politik untuk memperkuat basis struktur masyarakat, sepanjang
dekade 1990-an masyarakat sipil melakukan praktek perlawanan terhadap kebijakan
pemerintah, dimulai dengan peristiwa pemberedelan terhadap beberapa media
massa, Tempo, Editor dan Detik, demontrasi besar-besar kaum buruh baik di
Jakarta, Surabaya, dan Medan, meninggalnya Marsinah dan Udin serta tragedi
penyerangan kantor PDI di jalan Diponegoro. Namun menurut Nasikun (1999:432),
perlawanan atau tuntutan yang selama ini tidak ada henti-hentinya diajukan oleh
masyarakat, selalu disudutkan sebagai tindakan anti pembangunan atau upaya
pihak ketiga untuk mendiskreditkan pemerintah, dan yang tidak jarang harus
berhadapan dengan tindakan kekerasan oleh aparat Kamtibmas atas nama kesetian
kepada Pancasila, UUD 1945 dan kesinambungan pembangunan.
Maraknya praktek oposisi yang
dilancarkn oleh kaum civil society terhadap pemerintahan Orde Baru, dalam
konteks proses menuju demokratisasi terutama pendidikan politik bagi masyarakat
sipil. Dalam tatanan masyarakat demokrasi politik terdapat dua kekuatan sosial
yang harus dilihat secara terpisah, ini bukan hanya dalam konteks metodologi,
tetapi juga secara substansial sangat signifikan. Yakni, State atau negara dan
civil society atau masyarakat. Dua komponen demokrasi ini akan selalu
berhadapan satu dengan lainnya. Agar institusi negara tidak terlalu kuat dan
jauh mengintervensi kelas-kelas masyarakat, maka civil society harus mampu
melakukan pengimbangan kekuatan. Karena prasyarat dari sebuah sistem politik
yang demokratis adalah terjadinya proses perimbangan ekonomi politik antara
civil society dengan negara, masyarakat harus berfungsi sebagai lembaga
pengontrol terhadap kekuasaan.
Namun demikian, tidak tepat juga jika
dikatakan bahwa proses demokratisasi hanya ditentukan oleh faktor politik saja
seperti yang selama ini banyak dipakai sebagai metode analisis para ilmuan
sosial. Pada hal faktor lain seperti ekonomi dan pertumbuhan dunia usaha
belumlah banyak mendapat kajian yang memadai. Jika kita menengok bahwa orde
baru telah menciptakan suatu mekanisme sistem politik yang menempatkan empat
pilar utama secara riil merupakan kekuatan politik; yakni Islam, Militer,
Soeharto dan keluarganya kemudian modal (dunia usaha).
Dalam hal yang terakhir di atas, suka
atau tidak suka, negara telah memberi kontribusi yang cukup besar dalam
menciptakan kaum pengusaha yang handal dimana secara riil mereka juga memiliki
potensi dalam proses perubahan politik di Indonesia. Bahwa mereka belumlah
menjadi sebuah institusi kapitalis yang handal dan memiliki kekuatan politik
itu masalah lain, karena negara memang menghendaki agar para pemilik modal
tidak memiliki kekuatan politik riil, tetapi secara potensial merekaa ada.
Kasus kaum pemilik modal di Thailand yang terkenal dengan peristiwa kudeta lewat
telpon genggam. Bagaimana pemilik modal dengan masing-masing telpon genggam di
tangan turun kejalan menuntut agar Jenderal Chucinda yang telah membesarkan
mereka lewat fasilitas kekuasaan, dituntut untuk segera meletakkan jabatan,
intelektual dan kaum kapitalis kembali memainkan peran pentingnya. Sekalipun
mereka tidak secara langsung turun melakukan protes, namun pembiayaann politik
(dukungan ekonomi) dan psikologis turut mempercepat kejatuhan Soeharto.
Runtuhnya pemerintahan Orde Baru
dibawah kepemimpinan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 atas desakan civil
society, terutama mahasiswa yang dilakukan hampir di semua kampus di seluruh
Indonesia selama beberapa bulan sebelum jatuhnya Soeharto dari kursi
kepresidenan, belumlah dapat diartikan sebagai keberhasilan civil society,
karena dalam kurun waktu demikian berbagai peristiwa ekonomi politik sedang
berlangsung, seperti munculnya polarisasi ditubuh politik, tekanan-tekanan
internasional akibat dari krisis moneter yang berlanjut dengan krisis ekonomi
dan terakhir dengan krisis kepercayaan, adalah dua faktor utama yang harus
dilihat sebagai pendorong proses berakhirnya rezim Orde Baru.
Disamping hal-hal tersebut di atas
yang menyebabkan cepat runtuhnya pemerintahan Orde Baru menurut Nasikun
(1999:433), bahwa ketika krisis nasional sudah mencapai titik tertinggi dan
belum pernah terjadi sepanjang era Orde Baru, ditanggapi oleh pihak pemerintah
dengan tindakan-tindakan baik secara psykologis maupun fisik yang bersifat
refresif, bahkan mirip dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dari
suatu negara Kepolisian, seperti melakukan penculikan-penculikan secara
sistematik atas para aktivis mahasiswa dan lemabga swadaya masyarakat (LSM)
yang dilakukan oleh aparat keamanan dengan maksud untuk mencegah semakin meluasnya
reformasi.
Konsekwensi logis atas
tindakan-tindakan yang dilakukan menjelang beberapa bulan jatuhnya pemerintah
Soeharto tersebut adalah eskalasi berkembangnya suatu situasi yang sangat
rawan, yaitu suatu situasi yang revolusioner yang menurut Chaimers Jhonson
(dalam Nasikun,1999:433), ditandai oleh tiga hal yaitu: (1) terjadinya “deflasi
kekuasaan” (fower deflation), ketika tekanan-tekanan yang diciptakan oleh
disekuilibrium atau disinkronisasi sistem sosial menuntut perubahan-perubahan
sangat mendasar untuk kelangsungan eksistensinya, dan ketika integrasi sistem
sosial semakin bergantung pada pemeliharaan dan penggunaan instrumen-instrumen
kekerasan; (2) kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemegang kekuasaan untuk
mengembalikan ekuilibrium atau sinkronisasi sistem sosial justru menghasilkan
terjadinya “kebangkrutan otoritas” (a loss of authority) dari pusat kekuasaan,
ketika penggunaan alat-alat kekerasan oleh pemegang kekuasaan tidak lagi
dianggap absah, bukan hanya oleh para aktivis akan tetapi juga oleh masyarakat
yang semakin luas; (3) bertemunya suatu kombinasi berbagai situasi yang muncul
oleh karena berbagai kejadian yang tidak dapat dikendalikan, yang akumulasinya
dapat menyebabkan terjadinya kelumpuhan organisasi instrumen kekerasan yang berada
dibawah kontrol pusat kekuasaan, untuk menyebut perpecahan atau pemberontakan
militer sebagai bentuknya yang paling penting.
Gerakan mahasiswa yang menjadi ujung
tombak dalam mendobrak kekuasaan Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama
32 tahun, jelas mendapat energi dari kalangan pengusaha. Menurut Fachry Ali
(dalam Ridwan dan Gunawan, 1999:XXXV), bahwa dalam puncak-puncak masa krisis
kekuasaan Orde Baru energi itu semakin bertambah dari bergabungnya aktor-aktor
pengusaha bekas klien negara dimasa lalu ----- yang terdorong keluar arena baik
karena terjadinya sirkulasi kekuasaan di kalangan elit maupun munculnya
orientasi budaya politik baru di kalangan Cendana yang berbeda dari sebelumnya.
---- karena lambat atau cepat aspirasi-aspirasi mereka akan berbeda jalan
dengan kehendak atau apa yang diidealisasikan oleh negara. Karena bagi mereka
yang telah terkayakan ini akan senantiasa merasa kian terusik, bahkan mungkin
terancam dengan kontinuitas kekuasaan hampir menyeluruh Negara Orde Baru.
Peristiwa jatuhnya Soeharto
mengingatkan kita pada saat rejim Orde Baru muncul sebagai penguasa. Rejim ini
juga dibangun lewat aliansi militer dan kelas menengah (kaum pemilik modal)
kemudian saat Orde Baru berkuasa kaum pemilik modal juga banyak mendapat tempat
dalam kekuasaan. Dan ketika terjadi krisis ekonomi maupun kekuasaan, dimana
lagi negara tidak mampu lagi menanganani sendiri krisis ekonomi maupun
kekuasaan secara sendiri, dan kaum kapitalis yang telah berbeda kepentingan
dengan kekuasaan begitu cepat melakukan konsolidasi diri untuk berbalik
menyerang kekuasaan. Peristiwa politik yang tidak menentu seperti itu bagi
Karen Remmer (1995), ketika menganalisa proses demokrasi di Amerika Latin
mengatakan bahwa situasi demikian adalah suatu periode tak menentu yang ditandai
dengan kehancuran rejim-rejim mapan, baik otoriter maupun demokratik.
Sementara O’Donnel (dalm Hikam,
1999:33), sendiri memahami mengenai peristiwa yang terjadi tersebut adalah
sebagai periode dimana sebuah episose politik sedang bergeser dari sebuah rejim
otoriter ke periode transisi. Dalam periode transisi tidak berarti masyarakat
sipil akan sampai pada masa demokrasi, bisa saja jarum jam akan berputar
kembali kearah semula. Pada satu sisi oleh upaya penghacuran rejim otoriter dan
disisi yang lain oleh penciptaan sejenis demokrasi, kembalinya jenis rejim
otoriter yang lain, atau munculnya suatu alternatif revolusioner.
Sekalipun Orde Baru telah runtuh, itu
tidak berarti bahwa kekuasaan otoriter tidak akan kembali lagi berkuasa, karena
situasi transisi politik menurut Hikam (1999), memiliki sifat dasar, yaitu
kecairan dalam situasi demikian tidak tidak ada satupun kekuatan politik
dominan yang bebas dari tantangan-tantangan. Penguasa politik yang lama maupun
yang baru masih saling bertentangan satu dengan lainnya.
Kekuasaan politik setelah Orde Baru
runtuh tidak dengan sendirinya hilang sama sekali, Pemerintahan yang ada masih
memiliki kecenderungan untuk berganti strategi dengan kembali ke paradigma yang
lama, belum lagi bayangan militer yang setiap saat siap tampil menjadi
penguasa. Karena proses demokrasi di negara-negara berkembang seperti Indonesia
di tandai oleh dilema adanya hubungan sipil dan militer, entah itu bersifat
mesra atau terjadi konsesi politik ekonomi secara paksa. Bisa saja terjadi pengaktifan
di sektor sipil dan pengunduran militer dari jabatan-jabatan politik, tetapi
proses politik yang terjadi di belakang semua keputusan itu dibayangi oleh
ancaman-ancaman dan tawar-menawar militer yang lebih berpihak pada
konservatisme politik.
Fenomena ditunjukkan pada dua
pemerintahan setelah kekuasaan Orde Baru runtuh adalah adanya keengganan kaum
pemilik modal untuk melakukan investasi di Indonesia semestinya juga dilihat
sebagai situasi potensial yang bisa dijadikan sebagai alasan untuk kembali
berkuasanya sebuah rejim yang oteriter. Oleh karena itu yang terpenting
dilakukan dalam sebuah realitas politik transisi adalah memunculkan sebuah
proses penciptaan demokrasi yang sebenarnya, dan jangan hanya dipandang selesai
ketika rejim otoriter runtuh, seperti para penganut paradigma pluralis-liberal
yakni, proses itu lebih diarahkan pada penciptaan suatu kerangka
pranata-pranata khusus yang dapat mewadahi kemampuan berbagai macam kelompok
politik masyarakat untuk mengejewantahkan kepentingan-kepentingan civil
society. Proses pemberdayaan politik seperti itu dibutuhkan satu perangkat yang
oleh Hubermas (1979:34), disebut sebagai kemampuan komunikasi para aktor.
Dua model peristiwa politik yang
berlangsung pasca Soeharto, merupakan sebuah kesalahan besar sepanjang sejarah
dari para kelompok oposan kita selama ini, ketika rejim, Habibie berkuasa
segala aktivitas kekuasaan ditafsirkan sebagai sebuah kebijakan yang salah dan
harus dilawan disamping itu juga kehadirannya di panggung politik memiliki ikatan
historis dengan pemerintahan Soeharto, walaupun tuntutan agenda reformasi yang
diinginkan masyarakat sudah banyak yang menyenangkan banyak orang, namun
keputusan apapun yang dilakukan oleh pemerintah Habibie tidak akan pernah
memadai untuk meyakinkan masyarakat ditengah krisis ekonomi.
Sementara rejim Abdurrahman Wahid,
praktek oposisi memiliki kecenderungan untuk turun secara drastik. Padahal
ideologi kaum oposon adalah melakukan sebuah tekanan politik terhadap berbagai
kebijakan politik yang sedang berlangsung tanpa harus membedakan mana rejim
yang harus dikontrol mana yang tidak. Perlakuan politik dari sebagian besar
kelompok intelektual kita terhadap dua masa pemerintahan tadi hendaknya menjadi
bahan renungan yang mendalam bagi kaum oposan kita.
Kelemahan lain yang mendasar dari
pemerintahan pasca Orde Baru, adalah kebijakan para elit politik untuk
melakukan praktek mobilisasi massa untuk tujuan-tujuan politik jangka pendek,
kasus-kasus seperti pengerahan massa yang diperuntukan sebagai pressor politik
ketika berlangsung pemilihan Presiden merupakan sebuah pendidikan politik yang
semestinya tidak terjadi penciptaan strategi pemberdayaan politik masyarakat
arus bawah hendaknya jangan diarahkan kepada mobilisasi politik langsung yang
mengikuti model revolusioner, tetapi lebih diarahkan pada revitalisasi
kesadaran diri dan pengembangan kamandirian politik yang merupakan ciri dari
model pendekatan masyarakat sipil. Artinya dengan kesadaran yang cukup tinggi
masyarakat sipil kita melakukan kontrol politik terhadap kekuasaan dan itu
dimungkinkan jika sipil society kita berkembang menjadi sebuah institusi yang
modern kuat dan mandiri bebas dari pengaruh dan kepentingan kelompok politik
manapun.
Sehubungan dengan uraian di atas
menurut Stepan (1978:65-66), bilamana kelompok strategi dalam masyarakat tidak
bisa dicapai, maka menurut ada empat jalan yang diciptakan bagi berlangsungnya
kehidupan redemokratisasi dalam masyarakat yaitu yang pertama, penghentian
rejim otoriter atas prakarsa masyarakat; kedua, fakta yang dibuat oleh partai
politik; ketiga, pemberontakan terorganisasi yang dipelopori oleh partai-partai
reformis; keempat, adalah perang revolusiner dibawah ideologi Marxisme.
P E N U T U P
Gerakan moral mahasiswa yang mendapat
dukungan dari hampir seluruh komponen bangsa berhasil menurunkan Soeharto dari
singasana kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998. Turunnya Soeharto dari tampuk
kekuasaan bukan hanya pertanda runtuhnya kekuasaan Orde Baru setelah 32 tahun
berkuasa dan lahirlah Orde Reformasi, tapi sekaligus bukti kemenangan kekuatan
moral rakyat atas kekuatan politik penguasa yang otoriter dan manifulatif dan
bangkitnya kekuatan rakyat dalam percaturan politik nasional.
Keruntuhan Orde Baru telah membuka
jalan bagi dilakukan reformasi kehidupan masyarakat secara menyeluruh
sebagaimana dituntut oleh mahasiswa dan kaum cendekiawan. Disamping itu juga
telah memutuskan belenggu yang selama ini mengungkung demokrasi serta
menghalangi aspirasi politik masyarakat. Sekarang bangsa Indonesai telah
memiliki kesempatan dan kemungkinan yang jauh lebih besar untuk
menyelenggarakan reformasi politik menuju demokratisasi. Sudah barang tentu
dalam menuju suatu proses demokratisasi diperlukan waktu yang cukup lama yang
ditandai dengan negosiasi dan bergaining yang melibatkan berbagai pelaku
politik dan ekonomi dalam masyarakat. Atau dengan kata lain, tidak ada instan
democracy. Akan tetapi, demokrasi bukanlah suatu proses yang terjadi dengan
sendirinya dalam kevakuman, melainkan harus dimulai dan diupayakan agar
berlangsung dan bertahan, tanpa harus terperosok ke dalam anarkhi dan revolusi
penuh kekerasan. Dan sejak jatuh kekuasaan Orde Baru kemudian lahirnya Orde
Reformasi, maka sekarang bangsa Indonesia telah memiliki kesempatan dan
kemungkinan yang jauh lebih besar untuk menyelenggarakan reformasi politik.
Konsekwensi logis atas atas hal
tersebut diatas, maka lebih dari delapan puluh partai baru telah lahir dan atau
muncul kembali dalam jangka waktu yang hanya kurang dari tiga bulan, dan banyak
kekuatan sosio politik yang menegaskan diri mendukung dan menghendaki sebuah
era baru reformasi politik. Salah satu dari kekuatan sosio politik tersebut
adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Runtuhnya pemerintahan orde baru tidak
berarti kekuasaan otoriter runtuh juga dan barangkali bisa saja kembali
berkuasa lagi, karena situasi transisi politik. Dalam situasi yang demikian
tidak ada satu kekuatan politik yang dominan yang bebas dari
tantangan-tantangan. Penguasa politik yang lama maupun yang baru masih saling
bertentangan satu sama lainnya. Pemerintah yang ada sekarang masih memiliki
kecendrungan untuk berganti strategi dengan kembali ke paradigma yang lama,
keengganan kaum pemilik modal untuk melakukan investasi di Indonesia juga
merupakan suatu alasan yang masuk akal untuk kembali berkuasanya sebuah rejim
yang otoriter.
Untuk itu yang terpenting dilakukan
dalam upaya mengantisipasi munculnya kekuatan otoriter, perlu dimunculkan
sebuah proses penciptaan demokrasi yang sebenar-benar dan jangan hanya
dipandang selesai ketika pada saat selesai menumpas rezim otoriter yang
berkuasa pada saat itu. Proses itu lebih diarahkan pada penciptaan suatu
kerangka pranata-pranata khusus yang dapat mewadahi kemampuan berbagai macam
kelompok politik masyarakat. Sehingga dengan demikian akan tumbuh kesadaran
yang cukup tinggi masyarakat sipil melakukan kontrol politik terhadap kekuasaan
dan hal ini dapat berlangsung manakala sipil society berkembang menjadi sebuah
institusi yang modern kuat dan mandiri bebas dari pengaruh kepentingan kelompok
politik manapun.
Sumber :
(http://allmytasks.blogspot.com/2013/05/tulisan-contoh-permasalahan-dalam.html)
(http://evastickt.blogspot.co.id/2015/11/7-prinsip-prinsip-demokrasi-dan.html)
(http://arkandien.blogspot.co.id/2009/03/peran-politik-civil-society-dalam.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar