Selasa, 01 Agustus 2017

2. CONTOH KASUS PELAKSANAAN DAN PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI BERDASARKAN PERAN DARI CIVIL SOCIETY

A. Contoh Kasus Nyata Masalah Demokrasi di Indonesia

Pilkada ini ditujukan untuk memilih Kepala daerah di 226 wilayah yang tersebar dalam 11 provinsi dan 215 di kabupaten dan kota. Rakyat memilih kepala daerah masing masing secara langsung dan sesuai hati nurani masing masing. Dengan begini diharapkan kepala daerah yang terpilih merupakan pilihan rakyat daerah tersebut. Dalam pelaksanaannya pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah masing masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat yaitu mengatur pelaksanaan pilkada ini agar dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan kertas suara, hingga pelaksanaan pilkada ini.

Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan pemakaian ijasah palsu oleh bakal calon. Hal ini sangat memprihatinkan sekali . Seandainya calon tersebut dapat lolos bagai mana nantinya daerah tersebut karena telah dipimpin oleh orang yang bermental korup. Karena mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar. Dan juga biaya untuk menjadi calon yang tidak sedikit, jika tidak iklas ingin memimpin maka tidakan yang pertama adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kemali atau “balik modal”. Ini sangat berbahaya sekali.

Dalam pelaksanaan pilkada ini pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan mengerahkan massanya untuk mendatangi KPUD setempat. Kasus kasus yang masih hangat yaitu pembakaran kantor KPUD salah satu provinsi di pulau sumatra. Hal ini membuktikan sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat. Sehingga dari KPUD sebelum melaksanakan pemilihan umum, sering kali melakukan Ikrar siap menang dan siap kalah. Namun tetap saja timbul masalah masalah tersebut.

Selain masalah dari para bakal calon, terdapat juga permasalahan yang timbul dari KPUD setempat. Misalnya saja di Jakarta, para anggota KPUD terbukti melakukan korupsi dana Pemilu tersebut. Dana yang seharusnya untuk pelakasanaan pemilu ternyata dikorupsi. Tindakan ini sangat memprihatinkan. Dari sini dapat kita lihat yaitu rendahnya mental para penjabat. Dengan mudah mereka memanfaatkan jabatannya untuk kesenangan dirinya sendiri. Dan mungkin juga ketika proses penyeleksian bakal calon juga kejadian seperti ini. Misalnya agar bisa lolos seleksi maka harus membayar puluhan juta.

Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :

1. Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan penulis yaitu desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang.

Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu.

2. Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.

3. Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyam paikan visi misinya dalam acara tersbut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.

4. Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.

B. Prinsip Prinsip Demokrasi 

Prinsip merupakan kaidah atau ketentuan dasar yang harus dipegang dan ditaati. Prinsip demokrasi adalah beberapa kaidah dasar yang harus ada dan ditaati oleh negara penganut pemerintahan demokratis. Adapun prinsip-prinsip demokrasi tersebut sebagai berikut:

1. Negara Berdasarkan Konstitusi
Pengertian negara demokratis adalah negara yang pemerintah dan warganya menjadikan konstitusi sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi dapat diartikan sebagai undang-undang dasar atau seluruh peraturan hukum yang berlaku di sebuah negara. Sebagai prinsip demokrasi, keberadaan konstitusi sangat penting sebab dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Konstitusi berfungsi untuk membatasi wewenang penguasa atau pemerintah serta menjamin hak rakyat. Dengan demikian, penguasa atau pemerintah tidak akan bertindak sewenang-wenang kepada rakyatnya dan rakyat tidak akan bertindak anarki dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajibannya.

2. Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak dasar atau hak pokok yang dimiliki manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia mencakup hak untuk hidup, kebebasan memeluk agama, kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, serta hak-hak lain sesuai ketentuan undang-undang. Perlindungan terhadap HAM merupakan salah satu prinsip negara demokrasi karena perlindungan terhadap HAM pada hakikatnya merupakan bagian dari pembangunan negara yang demokratis.

3. Kebebasan Berserikat dan Mengeluarkan Pendapat
Salah satu prinsip demokrasi adalah mengakui dan memberikan kebebasan setiap orang untuk berserikat atau membentuk organisasi. Setiap orang boleh berkumpul dan membentuk identitas dengan organisasi yang ia dirikan. Melalui organisasi tersebut setiap orang dapat memperjuangkan hak sekaligus memenuhi kewajibannya. Sejarah demokrasi memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk berpikir dan menggunakan hati nurani serta menyampaikan pendapat dengan cara yang baik. Paham demokrasi tidak membatasi seseorang untuk berpendapat, tetapi mengatur penyampaian pendapat dengan cara bijak.

4. Pergantian Kekuasaan Secara Berkala
Gagasan tentang perlunya pembatasan kekuasaan dalam prinsip demokrasi dicetuskan oleh Lord Acton (seorang ahli sejarah Inggris). Lord Acton menyatakan bahwa pemerintahan yang diselenggarakan manusia penuh dengan kelemahan. Pendapatnya yang cukup terkenal adalah "ower tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely". Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan, tetapi manusia yang memiliki kekuasaan tidak terbatas pasti akan menyalahgunakannya.

Pergantian kekuasaan secara berkala bertujuan untuk membatasi kekuasaan atau kewenangan penguasa. Pergantian kekuasaan secara berkala dapat meminimalisasi penyelewengan dalam pemerintahan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pergantian seorang kepala negara atau kepala daerah dapat dilakukan dengan mekanisme pemilihan umum yang jujur dan adil.

5. Adanya Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
Peradilan bebas adalah peradilan yang berdiri sendiri dan bebas dari campur tangan pihak lain termasuk tangan penguasa. Pengadilan bebas merupakan prinsip demokrasi yang mutlak diperlukan agar aturan hukum dapat ditegakkan dengan baik. Para hakim memiliki kesempatan dan kebebasan untuk menemukan kebenaran dan memberlakukan hukum tanpa pandang bulu. Apabila peradilan tidak lagi bebas untuk menegakkan hukum dapat dipastikan hukum tidak akan tegak akibat intervensi atau campur tangan pihak di luar hukum oleh karena itu, peradilan yang bebas dari campur tangan pihak lain menjadi salah satu prinsip demokrasi.

Peradilan tidak memihak artinya peradilan yang tidak condong kepada salah satu pihak yang bersengketa di muka persidangan. Posisi netral sangat dibutuhkan untuk melihat masalah secara jernih dan tepat Kejernihan pemahaman tersebut akan membantu hakim menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya Selanjutnya, hakim dapat mempertimbangkan keadaan yang ada dan menerapkan hukum dengan adil bagi pihak beperkara.

6. Penegakan Hukum dan Persamaan Kedudukan Setiap Warga Negara di Depan Hukum
Hukum merupakan instrumen untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, pelaksanaan kaidah hukum tidak boleh berat sebelah atau pandang bulu. Setiap perbuatan melawan hukum harus ditindak secara tegas. Persamaan kedudukan warga negara di depan hukum akan memunculkan wibawa hukum. Saat hukum memiliki wibawa, hukum tersebut akan ditaati oleh setiap warga negara.

7. Jaminan Kebebasan Pers
Kebebasan pers merupakan salah satu pilar penting dalam prinsip prinsip demokrasi. Pers yang bebas dapat menjadi media bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi serta memberikan kritikan dan masukan kepada pemerintah dalam pembuatan kebijakan publik. Di sisi lain, pers juga menjadi sarana sosialisasi program-program yang dibuat pemerintah. Melalui pers diharapkan dapat terjalin komunikasi yang baik antara pemerintah masyarakat.

C. PERAN POLITIK CIVIL SOCIETY DALAM MEWUJUDKAN WACANA DEMOKRASI

Demokratisasi tidak dapat dipisahkan dari pembentukan civil society, karena demokrasi adalah mekanisme dari civil society. Eksistensi civil society dalam wacana demokrasi di Indonesia ketika rezim Orde Baru berkuasa dapat dikatakan sangat terbelenggu. Setelah rezim Orde Baru runtuh otomatis telah memutuskan belenggu yang selama ini mengungkungi demokrasai serta menghalangi aspirasi dan partisipasi politik masyarakat selama lebih dari tiga dekade.
Pada saat ini, bangsa Indonesia memiliki kesempatan dan kemungkinan yang lebih besar untuk menyelenggarakan reformasi politik menuju demokratisasi. Hal ini terlihat bahwa setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru, maka telah memberi kesempatan untuk membentuk partai baru dan dalam jangka waktu yang hanya kurang dari tiga bulan telah terbentuk delapan puluh partai baru, dan banyak kekuatan sosio politik yang menegaskan diri bahwa mendukung dan menghendaki sebuah era baru reformasi dalam berbagai kehidupan.
Reformasi merupakan upaya untuk mengganti tatanan sosial lama dengan tatatann sosial baru yang dijiwai oleh semangat reformasi yang berkembang dalam masyarakat dan sesuai pula dengan aspirasi rakyat. Semangat reformasi dilandasi oleh nilai-nilai transformasi menuju ke arah demokrasi. Menurut Dewanta (1996:277), bahwa transformasi ke arah demokrasi mengandung pengertian pergeseran dari suatu sistem nondemokratis (apapun bentuknya) ke arah sistem yang demokratis. Transformasi ke arah demokrasi selalu berkaitan dengan perubahan dari hubungan yang memiliki karakter zero-sum, dalam pengertian bahwa negara sangat kuat dan masyarakat sipil sangat lemah menjadi hubungan yang positive-sum. Untuk itu diperlukan strategi dan taktik untuk meningkatkan kekuatan masyarakat sipil sehingga memiliki bergaining position yang lebih kuat yang dapat memaksa negara mempertimbangkannya dalam suatu proses politik.
Posisi masyarakat yang sangat kuat ini, menurut Dewanta (1996:276), tidaklah berarti mengorbankan negara. Negara yang kuat dalam arti mampu menjalankan fungsi-fungsinya secara efektif yang ditandai oleh menguatnya peranan masyarakat tanpa diikuti menguatnya peran negara yang menimbulkan suatu bentuk tatanan yang anarkhis, yang ditandai oleh disorder bahkan disintegrasi. Sementara pada kutup ekstrem yang lain, menguatnya negara tanpaa diimbangi oleh menguatnya peran masyarakat akan memunculkan bentuk-bentuk hubungan seperti otoritarian, diktator, tirani dan semacamnya.
Menguatnya posisi masyarakat disini dapat juga diartikan bahwa masyarakat menjadi subyek, dan bukan obyek, dengan ikut menentukan dalam setiap kegiatan yang menyangkut dirinya baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial.


HUBUNGAN ANTARA NEGARA DAN CIVIL SOCIETY
Menurut Kuntowijoyo (1996:29), setidak ada empat pendapat mengenai hubungan antara negara dan civil society yaitu: pertama, menurut Hegel negara adalah sebuah aktualitas yang lahir karena dalam masyarakat selalu terjadi konflik, sehingga kemerdekaan sejati tidak pernah akan timbul dalam masyarakat. Dalam negaralah kemerdekaan itu terwujud; kedua, adalah kebalikan dari pertama. Marx berpendapat bahwa negara adalah alat represi dari kelas penguasa. Satu-satunya harapan bagi kemanusian terletak pada hapusnya negara. Dengan hapusnya negara tidak ada lagi alat represi, dan masyarakat dapat hidup tanpa kelas penguasa; ketiga, seperti yang dikemukakan Antonio Gramsci, yang membedakan antara negara dan masyarakat, antara political society dan civil society, negara mewakili paksaan, dominasi dan koersi, maka masyarakat mewakili budaya ideologi, dan konsensus; keempat, ada hubungan fungsional antara masyarakat dan negara. Masyarakat terpecah antara kepentingan yang berlawanan, antara sektor pribadi dan umum, antara individu dan masyarakat, antara kenyataan dan kesadaran. Negara memberi pengawasan dan peraturan. Secara konkrit negara bekerja melalui pemungutan pajak, pelaksanaan hukum, peraturan, birokrasi, diplomasi, sistem keamanan dan perang. Semua itu disatukan melalui hukum dan hak.
Di dalam masyarakat sipil, demokrasi yang berkembang niscaya bercorak pluralistik, yang ditandai dengan banyaknya pranata politik yang terbentuk atas prakarsa masyarakat sebagai penyalur aspirasi mereka sendiri. Menurut Dahl (dalam Silaen, 2000:8), pada masyarakat sipil society selain itu juga terdapat ciri-ciri lain yaitu: tingginya tingkat partisipasi politik masyarakat; terbukanya ruang-ruang publik yang luas dan bebas; terbentuknya masyarakat yang kritis (critical society).
Untuk membentuk masyarakat yang kritis sebagai mana yang dikemukakan diatas, menurut Silaen (2000:8) adalah mustahil dapat tercapai manakala tanpa melalui proses pencerahan yang mentransformasi budaya masyarakat menjadi modernis, yang berciri rasional, universal, menekankan achievement, dan imparsial. Di dalam masyarakat demikian, nilai-nilai yang berkembang niscaya mencakup kebebasan , kesataraan, individualistik, indenpendensi dan tolenrasi. Proses menuju kearah itu, menurut Lipset (dalam Silaen, 2000:9) masyarakat dapat didukung pencapaiannya melalui pendidikan, dengan instrumen-instrumen pendukung: urbanisasi (disebabkan industrialisasi); literacy, pers dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam teori politik, demokrasi sebagaimana yang dijelaskan di atas bukan hanya demokrasi electoral, yang hanya berurusan dengan mekanisme pemilihan para elit politik belaka. Pula bukan hanya demokrasi prosedural yang terkait dengan cara-cara pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan politik, melainkan yang utama adalah demokrasi liberal yang memberi peluang sebesar-besarnya kepada setiap warga untuk berpartisipasi secara politik melalui pelbagai saluran yang tersedia.

EXISTENSI CIVIL SOCIETY ERA ORDE BARU
Lahirnya rejim Orde Baru merupakan akibat dari kejatuhan rezim Orde Lama. Dilihat dari awal perkembangannya, rejim Orde Baru muncul dengan apa yang disebut critical mass (massa kritis), yaitu golongan terpelajar: intelektual, akademisi, pengacara, wartawan, tokoh-tokoh agama, mahasiswa, pelajar, seniman. Di Barat menurut Kusumowidagdo (1986:160) kelompok ini di golongkan dalam orang-orang yang liberal minded.
Lahirnya rejim Orde Baru selain telah mengubah orientasi ekonomi politik kekuasaan, juga telah memunculkan Soeharto sebagai pengganti sekaligus mengubah tatanan ekonomi politik Indonesia yang dulunya sosialis ke dalam sistem kapitalisme internasional. Karena proses pembangunan di zaman Orde Baru menempatkn modal sebagai sebuah logika sentral, maka negara-negara kapitalis metropolis (internasional) diundang untuk memperbaiki sistem ekonomi Indonesia. Merekapun meminta syarat, diantaranya jaminan keamanan, bahwa modal bisa saja ditanamkan namun ada jaminan agar modal itu menjadi aman, yakni sistem politik harus aman dan konflik-konflik sosial ditekan seminim mungkin.
Dalam pada itu, agar keamanan tetap terjamin Indonesia dibawah rezim Orde Baru telah didesain secara sistematis untuk tidak memberi tempat penting bagi partisipasi politik massa, apalagi bagi politik aliran. Rezim Orde Baru berusaha mempertahankan status quo dan memberi jamiman keamanan, serta menerapkan sistem politik yang benar-benar menekan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dihilangkan, yang muncul adalah floating state atau dalam kontek sosiologis disebut “negara otonomi”. Negara membayangkan dirinya sebagai representasi paling sejati dari seluruh kehendak individu, kelompok, atau golongan. Negara semacam ini relatif steril terhadap dinamika dan kekuatan-kekuatan yang tumbuh ditengah masyarakat.
Dengan corak seperti itu rezim Orde Baru kemudian mewariskan masyarakat yang memperlihatkan kejanggalan diberbagai segi. Artinya ada lembaga-lembaga penunjang demokrasi seperti partai politik, pers, lembaga swadaya masyarakat, tetapi semua itu tidak memiliki otonomi dan sangat tergantung pada negara. Warisan tersebut ternyata menimbulkan komplikasi serius, ketika bangsa ini hendak melangkah menuju demokrasi.
Salah satu diantara warisan itu adalah hilangnya ketrampilan sosial yang diperlukan dalam suatu civil society akibat dihancurkannya secara sistematis segala forum dan media yang dikuasai masyarakat. Akibatnya masyarakat kehilangan kesanggupan menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka sendiri secara santun dan damai. Eksesnya penyelesaian segala persoalan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat kita lihat selalu menggunakan cara kekerasan (violence).
Terjadinya kekuasaan yang demikian pada saat rezim orde baru berkuasa menurut para ahli ilmu sosial dikarenakan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan strukturalis. Kelompok ilmuan yang beraliran ini adalah O’Donnel sendiri, Immanuel Wellerstein, Arief Budiman, Sritua Arief dan Adi Sasano. Sementara itu pada ilmuan sosial beraliran kultural, lebih memposisikan kultur atau budaya sebagai sentral analisa. Menurut mereka terdapat suatu sistem budaya yang doniman dalam suatu sistem sosial masyarakat dan budaya ini mempengaruhi perilaku ekonomi politik elit kekuasaan maupun masyarakat sipil kita, sistem pemerintahan yang berlangsung dalam negara tadi berdasar pada pola dan tradisi kebudayaan yang dominan tadi. Jika direduksi bahwa dalam negara Orde Baru sistem pemerintahannya cenderung otoriter, budaya Jawa sebagai sistem sosial yang dominan dan memiliki pengaruh kuat dalam elit kekuasaan memiliki nilai-nilai otoriter. Masyarakat sipil memiliki kecendrungan untuk tidak tampil menjadi institusi pengimbang dalam masyarakat, ini juga akibat dari terdapatnya kultur masyarakat yang nrimo, tidak memiliki tradisi pemberontakan, beberapa ilmuan sosial penganut teori ini antara lain Clifford Geertz, Koentjaraningrat, Budi Santoso, SJ. Ben Anderson.
Perseteruan para penganut teori diatas telah lama berlangsung, dalam masyarakat intelektual tradisi ilmu-ilmu sosial yang dipengaruhi oleh filsafat Weberian (budaya) sebagai alat analisa utama begitu dominan, sementara mereka yang mendasari analisanya pada filsafat Marxian (historis) masih begitu minim. Belakangan ini mencul beberapa aliran yang menamakan dirinya sebagai mahzab Marxis Revisionis. Mereka tidak lagi membuat pertentangan antara kultur dan struktur, karena bagi mereka kedua pendekatan ini masing-masing memeliki relevansi di dalam menjelaskan realitas masyarakat setempat. Ilmuan Marxian seperti Gramsci, Nicos Paulantzas, Perry Anderson, melihat bahwa budaya juga merupakan sebuah identitas yang dipakai oleh penguasa untuk memproduksi sistem kekuasaan yang hemegomik . Bagi Gramsci yang dianggap sebagai intelektual besar yang beraliran Marxis revisionis, memahami bahwa negara jangan hanya dilihat sebagai institusi yang mempertahankan berlangsungnya formasi sosial yang otoriter, sebagaimana pendapat kaum Marxis klasik, masyarakat sipil (civil society) menstinya juga dilihat sebagai faktor kunci untuk memahami sistem otoritarian tadi. Ia terbentuk dari hubungan-hubungan budaya dan idiologi yang kompleks kehidupan intelektual dan spiritual, serta ekspresi politik dari hubungan-hubungan itu yang harus ditekan daripada struktur. Lebih jauh ketika ia menganalisa mengapa masyarkat sipil di Italia menjadi sangat tunduk kepada kekuasaan. Menurutnya, kekuasaan telah berhasil menterjemahkan budaya masyarakat setempat sebagai perangkat kekuasaan untuk melakukan pressur terhadap masyarakat sipil sendiri. Sementara Perry Anderson pada saat menganalisa tulisan Gramsci memberi kesimpulan bahwa model hemegoni Gramsci adalah kepemimpinan moral dan kebudayaan yang dilaksalanakan oleh masyarakat politik (negara) kepada masyarakat sipil.
Studi politik dalam perspektif demikian lebih banyak memakai pendekatan dalam analisa kelas dari kalangan Marxis revisionis tadi, artinya fokus pendekatannya diarahkan pada state dalam hubungannya dengan masyarakat. (state and society) pada periode inilah muncul apa yang disebut dengan perspektif neo statist. Yaitu pendekatan yang memusatkan analisanya pada negara (state centred). Dalam pendekatan ini paling tidak terdapat tiga ciri utama (Subakti 1989:4). Pertama, negara dipahami sebagai aktor yang memiliki peran dalam mempengaruhi dan mentukan perkembangan masyarakat. Kedua penjelasannya berupa perspektif kelembagaan, ketiga negara tidak lagi dikaji secara das solen (apa dan bagaimana negara dijalankan), tetapi secara das sein (bagaimana negara dijalankan pada tataran empirisnya).
Pendekatan negara muncul setidaknya dengan dua alasan. Yang pertama, timbul rasa ketidakpuasan dari kalangan ilmuan sosial terhadap pendekatan yang selama ini digunakan yang lebih berfokus pada analisa tradisional yang melihat negara dalam perspektif normatif ideal, kedua, semua aktivitas kelas-kelas sosial dalam masyarakat telah masuk dalam yurisdiksi dan wewenang negara, hal demikian dengan sendirinya terimplikasi ke dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat sipil.
Menurut Hikam(1999:66), masyarakat dunia ketiga, keterlibatan negara tidak hanya dalam bidang politik saja tetapi telah merasuk ke dalam lapangan ekonomi, sosial maupun budaya. Nicos Poulantzas (1987:60), sehingga posisi negara yang dulunya secara statis dan netral, sekarang telah berkembang menjadi sebuah institusi yang memiliki kemandirian relatif.
Orde Baru sebagai sebuah tatanan politik dimana negara diletakan ke dalam sebuah bingkai yang relatif otonom, institusi politik ini juga melakukan praktek kekuasaan yang represif dan otoriter, kemudian negara menjadi sebuah institusi pelaksana tunggal dari otoritarianisme tadi. Dengan demikian maka terdapat tiga ciri yang mendasari negara Orde Baru, sebagai negara yang kuat, relatif otonom dan otoriter. Sementara masyarakatnya cenderung bersifat pasif, apatis, lembaga-lembaga politik masyarakat sebagian besar tidak menjalankan fungsinya sebagai alat bagi pendidikan politik rakyat. Setiap kali ada gejala yang memperlihatkan sikap akomodatif dari civil society terhadap negara maka ini dipahami sebagai indikasi semakin menguatnya struktur politik yang dibangun oleh negara.
Sebagai kelanjutan dari sebuah rejim Orde Lama, Orde Baru juga mewarisi sistem politik dengan menempuh jalan mobilisasi negara. Artinya, semua perangkat ekonomi, sosial, budaya, politik di upayakan untuk masuk dalam kerangka kooptasi negara. Negara menciptakan satu bentuk institusi-institusi baru dan tunggal sebagai perwakilan dari organisasi yang ada dalam masyarakat.
Untuk memperlemah sekaligus melakukan kontrol terhadap berbagai institusi seperti misalnya aktivitas buruh, negara membentuk dan hanya mengizinkan satu-satu organisasi yang bernama Serikat Buruh Pekerja Indonesia (SPSI), tetapi organisasi sejenisnya, seperti Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) tidak diperbolehkan berdiri. Demikian pula dengan organisasi Pers yang diizinkan hanya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sementara Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) bukan hanya tidak diberi izin, tetapi para anggotanya justru mengalami kesulitan politik dan operasional profesi.
Dalam institusi keagamaanpun negara membentuk satu perangkat organisasi tunggal yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) oleh pemerintah dianggap sebagai representasi dari semua ulama yang ada di Indonesia, sementara HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) sekalipun sampai saat ini belum ada organisasi tandingannya, namun pemerintah melakukan intervensi politik ketika terjadi rekruitmen kepemimpinan di dalam lembaga tersebut. HKBP pimpinan Nababan tidak direstui oleh kekuasan. Begitu kuatnya intervensi negara dalam tubuh institusi Kristen Protestan ini mengakibatkan HKBP mengalami konflik internal berkepanjangan, dan ongkos yang dibayar dari konflik itu sangatlah besar.
Demikian pula dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pimpinan Megawati Soekarno Putri, direkayasa untuk tidak kembali memimpin PDI. Soeryadi sendiri sebagai aktivis partai yang loyal kepada pemerintah direstui. Hal yang menarik justru datang dari peristiwa Muktamar NU, K.H. Abdurrahman Wahid yang meneguhkan diri sebagai simbol oposisi kekuasaan mendapat rintangan yang begitu kuat untuk kembali memimpin, namun peristiwa ini, negara tidak berhasil menggusur Gus Dur, ketidak berhasilan pemerintah menggusur Gus Dur karena mengalir dukungan dari sipil society disamping itu juga kepiawaian Gus Dur dalam menjalan politik praktis.
Kasus-kasus politik di atas memberi gambaran betapa kekuasaan Orde Baru sama sekali tidak menginginkan munculnya kekuatan alternatif dalam masyarakat, apalagi yang mengarah kepada oposisi politik terhadap negara. Dan untuk mengimbangi kekuasaan politik dari masyarakat negara melakukan intervensi kekerasan dengan menggunakan militer dengan alasan menjaga agar stabilitas politik tetap berjalan untuk menjaga kesinambungan pembangunan ekonomi, terutama investasi modal dari luar.
Kebijaksanaan politik demikian, membuat civil society (masyarakat sipil) kehilangan kemandiriannya, partisipasi politik hanya sebatas pengesahan dari kebijakan negara yang diturunkan kemasyarakat agar terkesan ada proses partisipasi dari bawah, padahal secara substansial negara justru melakukan tekanan politik kepada masyarakat untuk mengiyakan segala bentuk kebijakan ekonomi politik negara. Hikam (1999:5), menyatakan bahwa penetrasi negara yang kuat dan jauh terutama lewat jaringan birokrasi dan aparat keamanan telah mengakibatkan semakin menyempitnya rung-ruang bebas yang dulunya pernah ada.
Begitu kuatnya penetrasi kekuasaan terhadap lembaga-lembaga masyarakat sipil sehingga Pierre James (dalam Budiman1996:61) mengatakan bahwa,………the single most important actor in the economic, society and polity……… Sementara Fattah (1994:85-86), menyatakan bahwa memahami negara telah menjadi sebuah kekuatan politik dominan yang mempengaruhi perkembangan masyarakat. Perubahan logika kekuasaan negara yang lebih cepat dari perubahan politik masyarakat mengakibatkan masyarakat sipil mengalami pertumbuhan yang tidak signifikan, hal tersebut sangat jauh berbeda dengan sejarah masyarakat sipil yang ada di Barat, dimana yang terakhir peran aktif masyarakatnya sangat menentukan pengambilan kebijakan politik maupun ekonomi dalam kekuasan. Problem kultural dari masyarakat sipil kita berlanjut terus seiring dengan realitas politik yang berkembang di Indonesia.
Masa pemerintahan orde baru bukan berarti tidak muncul praktek oposisi terhadap negara. Organisasi-organisasi non pemerintah. Tokoh agama, aktivis petani dan buruh, mereka mampu melakukan konsolidasi politik untuk memperkuat basis struktur masyarakat, sepanjang dekade 1990-an masyarakat sipil melakukan praktek perlawanan terhadap kebijakan pemerintah, dimulai dengan peristiwa pemberedelan terhadap beberapa media massa, Tempo, Editor dan Detik, demontrasi besar-besar kaum buruh baik di Jakarta, Surabaya, dan Medan, meninggalnya Marsinah dan Udin serta tragedi penyerangan kantor PDI di jalan Diponegoro. Namun menurut Nasikun (1999:432), perlawanan atau tuntutan yang selama ini tidak ada henti-hentinya diajukan oleh masyarakat, selalu disudutkan sebagai tindakan anti pembangunan atau upaya pihak ketiga untuk mendiskreditkan pemerintah, dan yang tidak jarang harus berhadapan dengan tindakan kekerasan oleh aparat Kamtibmas atas nama kesetian kepada Pancasila, UUD 1945 dan kesinambungan pembangunan.
Maraknya praktek oposisi yang dilancarkn oleh kaum civil society terhadap pemerintahan Orde Baru, dalam konteks proses menuju demokratisasi terutama pendidikan politik bagi masyarakat sipil. Dalam tatanan masyarakat demokrasi politik terdapat dua kekuatan sosial yang harus dilihat secara terpisah, ini bukan hanya dalam konteks metodologi, tetapi juga secara substansial sangat signifikan. Yakni, State atau negara dan civil society atau masyarakat. Dua komponen demokrasi ini akan selalu berhadapan satu dengan lainnya. Agar institusi negara tidak terlalu kuat dan jauh mengintervensi kelas-kelas masyarakat, maka civil society harus mampu melakukan pengimbangan kekuatan. Karena prasyarat dari sebuah sistem politik yang demokratis adalah terjadinya proses perimbangan ekonomi politik antara civil society dengan negara, masyarakat harus berfungsi sebagai lembaga pengontrol terhadap kekuasaan.
Namun demikian, tidak tepat juga jika dikatakan bahwa proses demokratisasi hanya ditentukan oleh faktor politik saja seperti yang selama ini banyak dipakai sebagai metode analisis para ilmuan sosial. Pada hal faktor lain seperti ekonomi dan pertumbuhan dunia usaha belumlah banyak mendapat kajian yang memadai. Jika kita menengok bahwa orde baru telah menciptakan suatu mekanisme sistem politik yang menempatkan empat pilar utama secara riil merupakan kekuatan politik; yakni Islam, Militer, Soeharto dan keluarganya kemudian modal (dunia usaha).
Dalam hal yang terakhir di atas, suka atau tidak suka, negara telah memberi kontribusi yang cukup besar dalam menciptakan kaum pengusaha yang handal dimana secara riil mereka juga memiliki potensi dalam proses perubahan politik di Indonesia. Bahwa mereka belumlah menjadi sebuah institusi kapitalis yang handal dan memiliki kekuatan politik itu masalah lain, karena negara memang menghendaki agar para pemilik modal tidak memiliki kekuatan politik riil, tetapi secara potensial merekaa ada. Kasus kaum pemilik modal di Thailand yang terkenal dengan peristiwa kudeta lewat telpon genggam. Bagaimana pemilik modal dengan masing-masing telpon genggam di tangan turun kejalan menuntut agar Jenderal Chucinda yang telah membesarkan mereka lewat fasilitas kekuasaan, dituntut untuk segera meletakkan jabatan, intelektual dan kaum kapitalis kembali memainkan peran pentingnya. Sekalipun mereka tidak secara langsung turun melakukan protes, namun pembiayaann politik (dukungan ekonomi) dan psikologis turut mempercepat kejatuhan Soeharto.
Runtuhnya pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 atas desakan civil society, terutama mahasiswa yang dilakukan hampir di semua kampus di seluruh Indonesia selama beberapa bulan sebelum jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan, belumlah dapat diartikan sebagai keberhasilan civil society, karena dalam kurun waktu demikian berbagai peristiwa ekonomi politik sedang berlangsung, seperti munculnya polarisasi ditubuh politik, tekanan-tekanan internasional akibat dari krisis moneter yang berlanjut dengan krisis ekonomi dan terakhir dengan krisis kepercayaan, adalah dua faktor utama yang harus dilihat sebagai pendorong proses berakhirnya rezim Orde Baru.
Disamping hal-hal tersebut di atas yang menyebabkan cepat runtuhnya pemerintahan Orde Baru menurut Nasikun (1999:433), bahwa ketika krisis nasional sudah mencapai titik tertinggi dan belum pernah terjadi sepanjang era Orde Baru, ditanggapi oleh pihak pemerintah dengan tindakan-tindakan baik secara psykologis maupun fisik yang bersifat refresif, bahkan mirip dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dari suatu negara Kepolisian, seperti melakukan penculikan-penculikan secara sistematik atas para aktivis mahasiswa dan lemabga swadaya masyarakat (LSM) yang dilakukan oleh aparat keamanan dengan maksud untuk mencegah semakin meluasnya reformasi.
Konsekwensi logis atas tindakan-tindakan yang dilakukan menjelang beberapa bulan jatuhnya pemerintah Soeharto tersebut adalah eskalasi berkembangnya suatu situasi yang sangat rawan, yaitu suatu situasi yang revolusioner yang menurut Chaimers Jhonson (dalam Nasikun,1999:433), ditandai oleh tiga hal yaitu: (1) terjadinya “deflasi kekuasaan” (fower deflation), ketika tekanan-tekanan yang diciptakan oleh disekuilibrium atau disinkronisasi sistem sosial menuntut perubahan-perubahan sangat mendasar untuk kelangsungan eksistensinya, dan ketika integrasi sistem sosial semakin bergantung pada pemeliharaan dan penggunaan instrumen-instrumen kekerasan; (2) kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemegang kekuasaan untuk mengembalikan ekuilibrium atau sinkronisasi sistem sosial justru menghasilkan terjadinya “kebangkrutan otoritas” (a loss of authority) dari pusat kekuasaan, ketika penggunaan alat-alat kekerasan oleh pemegang kekuasaan tidak lagi dianggap absah, bukan hanya oleh para aktivis akan tetapi juga oleh masyarakat yang semakin luas; (3) bertemunya suatu kombinasi berbagai situasi yang muncul oleh karena berbagai kejadian yang tidak dapat dikendalikan, yang akumulasinya dapat menyebabkan terjadinya kelumpuhan organisasi instrumen kekerasan yang berada dibawah kontrol pusat kekuasaan, untuk menyebut perpecahan atau pemberontakan militer sebagai bentuknya yang paling penting.
Gerakan mahasiswa yang menjadi ujung tombak dalam mendobrak kekuasaan Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun, jelas mendapat energi dari kalangan pengusaha. Menurut Fachry Ali (dalam Ridwan dan Gunawan, 1999:XXXV), bahwa dalam puncak-puncak masa krisis kekuasaan Orde Baru energi itu semakin bertambah dari bergabungnya aktor-aktor pengusaha bekas klien negara dimasa lalu ----- yang terdorong keluar arena baik karena terjadinya sirkulasi kekuasaan di kalangan elit maupun munculnya orientasi budaya politik baru di kalangan Cendana yang berbeda dari sebelumnya. ---- karena lambat atau cepat aspirasi-aspirasi mereka akan berbeda jalan dengan kehendak atau apa yang diidealisasikan oleh negara. Karena bagi mereka yang telah terkayakan ini akan senantiasa merasa kian terusik, bahkan mungkin terancam dengan kontinuitas kekuasaan hampir menyeluruh Negara Orde Baru.
Peristiwa jatuhnya Soeharto mengingatkan kita pada saat rejim Orde Baru muncul sebagai penguasa. Rejim ini juga dibangun lewat aliansi militer dan kelas menengah (kaum pemilik modal) kemudian saat Orde Baru berkuasa kaum pemilik modal juga banyak mendapat tempat dalam kekuasaan. Dan ketika terjadi krisis ekonomi maupun kekuasaan, dimana lagi negara tidak mampu lagi menanganani sendiri krisis ekonomi maupun kekuasaan secara sendiri, dan kaum kapitalis yang telah berbeda kepentingan dengan kekuasaan begitu cepat melakukan konsolidasi diri untuk berbalik menyerang kekuasaan. Peristiwa politik yang tidak menentu seperti itu bagi Karen Remmer (1995), ketika menganalisa proses demokrasi di Amerika Latin mengatakan bahwa situasi demikian adalah suatu periode tak menentu yang ditandai dengan kehancuran rejim-rejim mapan, baik otoriter maupun demokratik.
Sementara O’Donnel (dalm Hikam, 1999:33), sendiri memahami mengenai peristiwa yang terjadi tersebut adalah sebagai periode dimana sebuah episose politik sedang bergeser dari sebuah rejim otoriter ke periode transisi. Dalam periode transisi tidak berarti masyarakat sipil akan sampai pada masa demokrasi, bisa saja jarum jam akan berputar kembali kearah semula. Pada satu sisi oleh upaya penghacuran rejim otoriter dan disisi yang lain oleh penciptaan sejenis demokrasi, kembalinya jenis rejim otoriter yang lain, atau munculnya suatu alternatif revolusioner.
Sekalipun Orde Baru telah runtuh, itu tidak berarti bahwa kekuasaan otoriter tidak akan kembali lagi berkuasa, karena situasi transisi politik menurut Hikam (1999), memiliki sifat dasar, yaitu kecairan dalam situasi demikian tidak tidak ada satupun kekuatan politik dominan yang bebas dari tantangan-tantangan. Penguasa politik yang lama maupun yang baru masih saling bertentangan satu dengan lainnya.
Kekuasaan politik setelah Orde Baru runtuh tidak dengan sendirinya hilang sama sekali, Pemerintahan yang ada masih memiliki kecenderungan untuk berganti strategi dengan kembali ke paradigma yang lama, belum lagi bayangan militer yang setiap saat siap tampil menjadi penguasa. Karena proses demokrasi di negara-negara berkembang seperti Indonesia di tandai oleh dilema adanya hubungan sipil dan militer, entah itu bersifat mesra atau terjadi konsesi politik ekonomi secara paksa. Bisa saja terjadi pengaktifan di sektor sipil dan pengunduran militer dari jabatan-jabatan politik, tetapi proses politik yang terjadi di belakang semua keputusan itu dibayangi oleh ancaman-ancaman dan tawar-menawar militer yang lebih berpihak pada konservatisme politik.
Fenomena ditunjukkan pada dua pemerintahan setelah kekuasaan Orde Baru runtuh adalah adanya keengganan kaum pemilik modal untuk melakukan investasi di Indonesia semestinya juga dilihat sebagai situasi potensial yang bisa dijadikan sebagai alasan untuk kembali berkuasanya sebuah rejim yang oteriter. Oleh karena itu yang terpenting dilakukan dalam sebuah realitas politik transisi adalah memunculkan sebuah proses penciptaan demokrasi yang sebenarnya, dan jangan hanya dipandang selesai ketika rejim otoriter runtuh, seperti para penganut paradigma pluralis-liberal yakni, proses itu lebih diarahkan pada penciptaan suatu kerangka pranata-pranata khusus yang dapat mewadahi kemampuan berbagai macam kelompok politik masyarakat untuk mengejewantahkan kepentingan-kepentingan civil society. Proses pemberdayaan politik seperti itu dibutuhkan satu perangkat yang oleh Hubermas (1979:34), disebut sebagai kemampuan komunikasi para aktor.
Dua model peristiwa politik yang berlangsung pasca Soeharto, merupakan sebuah kesalahan besar sepanjang sejarah dari para kelompok oposan kita selama ini, ketika rejim, Habibie berkuasa segala aktivitas kekuasaan ditafsirkan sebagai sebuah kebijakan yang salah dan harus dilawan disamping itu juga kehadirannya di panggung politik memiliki ikatan historis dengan pemerintahan Soeharto, walaupun tuntutan agenda reformasi yang diinginkan masyarakat sudah banyak yang menyenangkan banyak orang, namun keputusan apapun yang dilakukan oleh pemerintah Habibie tidak akan pernah memadai untuk meyakinkan masyarakat ditengah krisis ekonomi.
Sementara rejim Abdurrahman Wahid, praktek oposisi memiliki kecenderungan untuk turun secara drastik. Padahal ideologi kaum oposon adalah melakukan sebuah tekanan politik terhadap berbagai kebijakan politik yang sedang berlangsung tanpa harus membedakan mana rejim yang harus dikontrol mana yang tidak. Perlakuan politik dari sebagian besar kelompok intelektual kita terhadap dua masa pemerintahan tadi hendaknya menjadi bahan renungan yang mendalam bagi kaum oposan kita.
Kelemahan lain yang mendasar dari pemerintahan pasca Orde Baru, adalah kebijakan para elit politik untuk melakukan praktek mobilisasi massa untuk tujuan-tujuan politik jangka pendek, kasus-kasus seperti pengerahan massa yang diperuntukan sebagai pressor politik ketika berlangsung pemilihan Presiden merupakan sebuah pendidikan politik yang semestinya tidak terjadi penciptaan strategi pemberdayaan politik masyarakat arus bawah hendaknya jangan diarahkan kepada mobilisasi politik langsung yang mengikuti model revolusioner, tetapi lebih diarahkan pada revitalisasi kesadaran diri dan pengembangan kamandirian politik yang merupakan ciri dari model pendekatan masyarakat sipil. Artinya dengan kesadaran yang cukup tinggi masyarakat sipil kita melakukan kontrol politik terhadap kekuasaan dan itu dimungkinkan jika sipil society kita berkembang menjadi sebuah institusi yang modern kuat dan mandiri bebas dari pengaruh dan kepentingan kelompok politik manapun.
Sehubungan dengan uraian di atas menurut Stepan (1978:65-66), bilamana kelompok strategi dalam masyarakat tidak bisa dicapai, maka menurut ada empat jalan yang diciptakan bagi berlangsungnya kehidupan redemokratisasi dalam masyarakat yaitu yang pertama, penghentian rejim otoriter atas prakarsa masyarakat; kedua, fakta yang dibuat oleh partai politik; ketiga, pemberontakan terorganisasi yang dipelopori oleh partai-partai reformis; keempat, adalah perang revolusiner dibawah ideologi Marxisme.

P E N U T U P
Gerakan moral mahasiswa yang mendapat dukungan dari hampir seluruh komponen bangsa berhasil menurunkan Soeharto dari singasana kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998. Turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan bukan hanya pertanda runtuhnya kekuasaan Orde Baru setelah 32 tahun berkuasa dan lahirlah Orde Reformasi, tapi sekaligus bukti kemenangan kekuatan moral rakyat atas kekuatan politik penguasa yang otoriter dan manifulatif dan bangkitnya kekuatan rakyat dalam percaturan politik nasional.
Keruntuhan Orde Baru telah membuka jalan bagi dilakukan reformasi kehidupan masyarakat secara menyeluruh sebagaimana dituntut oleh mahasiswa dan kaum cendekiawan. Disamping itu juga telah memutuskan belenggu yang selama ini mengungkung demokrasi serta menghalangi aspirasi politik masyarakat. Sekarang bangsa Indonesai telah memiliki kesempatan dan kemungkinan yang jauh lebih besar untuk menyelenggarakan reformasi politik menuju demokratisasi. Sudah barang tentu dalam menuju suatu proses demokratisasi diperlukan waktu yang cukup lama yang ditandai dengan negosiasi dan bergaining yang melibatkan berbagai pelaku politik dan ekonomi dalam masyarakat. Atau dengan kata lain, tidak ada instan democracy. Akan tetapi, demokrasi bukanlah suatu proses yang terjadi dengan sendirinya dalam kevakuman, melainkan harus dimulai dan diupayakan agar berlangsung dan bertahan, tanpa harus terperosok ke dalam anarkhi dan revolusi penuh kekerasan. Dan sejak jatuh kekuasaan Orde Baru kemudian lahirnya Orde Reformasi, maka sekarang bangsa Indonesia telah memiliki kesempatan dan kemungkinan yang jauh lebih besar untuk menyelenggarakan reformasi politik.
Konsekwensi logis atas atas hal tersebut diatas, maka lebih dari delapan puluh partai baru telah lahir dan atau muncul kembali dalam jangka waktu yang hanya kurang dari tiga bulan, dan banyak kekuatan sosio politik yang menegaskan diri mendukung dan menghendaki sebuah era baru reformasi politik. Salah satu dari kekuatan sosio politik tersebut adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Runtuhnya pemerintahan orde baru tidak berarti kekuasaan otoriter runtuh juga dan barangkali bisa saja kembali berkuasa lagi, karena situasi transisi politik. Dalam situasi yang demikian tidak ada satu kekuatan politik yang dominan yang bebas dari tantangan-tantangan. Penguasa politik yang lama maupun yang baru masih saling bertentangan satu sama lainnya. Pemerintah yang ada sekarang masih memiliki kecendrungan untuk berganti strategi dengan kembali ke paradigma yang lama, keengganan kaum pemilik modal untuk melakukan investasi di Indonesia juga merupakan suatu alasan yang masuk akal untuk kembali berkuasanya sebuah rejim yang otoriter.
Untuk itu yang terpenting dilakukan dalam upaya mengantisipasi munculnya kekuatan otoriter, perlu dimunculkan sebuah proses penciptaan demokrasi yang sebenar-benar dan jangan hanya dipandang selesai ketika pada saat selesai menumpas rezim otoriter yang berkuasa pada saat itu. Proses itu lebih diarahkan pada penciptaan suatu kerangka pranata-pranata khusus yang dapat mewadahi kemampuan berbagai macam kelompok politik masyarakat. Sehingga dengan demikian akan tumbuh kesadaran yang cukup tinggi masyarakat sipil melakukan kontrol politik terhadap kekuasaan dan hal ini dapat berlangsung manakala sipil society berkembang menjadi sebuah institusi yang modern kuat dan mandiri bebas dari pengaruh kepentingan kelompok politik manapun.

Sumber :

(http://allmytasks.blogspot.com/2013/05/tulisan-contoh-permasalahan-dalam.html)

(http://evastickt.blogspot.co.id/2015/11/7-prinsip-prinsip-demokrasi-dan.html)

(http://arkandien.blogspot.co.id/2009/03/peran-politik-civil-society-dalam.html)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar